
Puisi Hari Pendidikan Nasional: Antara Asa, Luka, dan Cita untuk Indonesia
admin_hspg | 28 Apr 2025 | 0 | 0Hari Pendidikan Nasional 2025 bukan sekadar sebuah peringatan. Ia adalah cermin tentang cita-cita yang pernah dibangun, tantangan yang masih bertahan, dan harapan yang tak pernah benar-benar mati.
Di tengah pergantian presiden, perubahan menteri, lahirnya kebijakan baru, hingga tantangan dunia yang semakin tak ramah, pendidikan Indonesia berdiri di persimpangan: apakah akan terbang lebih tinggi, atau justru tersendat dalam bayang-bayang ketidakpastian.
Melalui rangkaian puisi ini, kami ingin mengabadikan segala rasa: bahagia, kritis, pasrah, dan tetap optimis.
1. Pendidikan Adalah Janji
(Nada: Bahagia dan Harapan)
Pendidikan,
adalah janjimu, Indonesia—
bahwa setiap anak yang lahir,
berhak bermimpi setinggi bintang,
dan berjalan sejauh samudera.
Di tangan-tangan kecil itu,
kau titipkan benih perubahan.
Bukan hanya sekadar kata-kata di podium,
tapi halaman-halaman hidup
yang disulam dari sabar dan harap.
Hari ini, kami menanam lagi:
pena, buku, dan keberanian.
2. Menteri Berganti, Mimpi Tertunda
(Nada: Kritis dan Satire)
Presiden bersalaman,
Menteri berpidato,
kata "revolusi pendidikan" digemakan lagi
seperti mercon malam tahun baru: ramai, lalu hening.
Guru di pedalaman tetap berjalan kaki tiga jam,
anak-anak tetap mengantuk di bangku reyot,
di kota, tablet baru dibagi, selfie bertebaran,
tapi sinyal tak kunjung adil.
Menteri boleh ganti,
kurikulum boleh dipoles,
tapi mimpi kami tetap sama:
adil, bukan sekadar cepat.
3. Sekolah yang Tak Sampai
(Nada: Pasrah dan Melankolis)
Ada sekolah di ujung bukit itu,
yang tak pernah sempat kami injak.
Karena sepatu robek,
karena jalan longsor,
karena perut lapar lebih perlu diisi
daripada buku-buku dengan huruf tak terbaca.
Kami, anak-anak musim kemarau,
mengirimkan salam dari ladang kosong,
kepada kalian yang berseragam rapi di ibu kota.
4. Kami Masih Percaya
(Nada: Optimistis dan Lembut)
Meski dunia sibuk berlomba,
meski keputusan kerap tak adil,
kami, anak-anakmu, Indonesia,
masih percaya.
Percaya bahwa selembar buku tua
bisa membuka jalan pulang
ke kampung yang lebih sejahtera.
Percaya bahwa seorang guru yang bertahan
di desa terpencil adalah pelita bangsa.
Percaya bahwa belajar,
adalah bentuk tertinggi dari harapan.
5. Tantangan Zaman, Tantangan Hati
(Nada: Reflektif dan Merenung)
Robot mengajar di kota,
tapi masih ada sekolah beratap langit.
AI merangkai soal ujian,
sementara naskah-naskah tua kami berdebu tanpa dibaca.
Efisiensi, kata mereka,
tapi tak semua mimpi bisa dipangkas biaya.
Ada cita-cita yang tumbuh dari kesabaran,
ada tekad yang bertunas di tanah basah perjuangan.
Wahai Indonesia,
jangan buru-buru melupakan manusia
di balik angka-angka.
6. Pendidikan Itu, Kadang...
(Nada: Sapardi-esque, sederhana tapi dalam)
Pendidikan itu, kadang,
hanyalah seorang guru tua
yang menunggu hujan reda
agar bisa sampai ke sekolah.
Pendidikan itu, kadang,
hanyalah seorang ibu
yang menjahitkan seragam dari kain perca,
sambil berkata:
"Belajarlah, Nak. Selebihnya, biar Tuhan yang tahu."
Penutup: Antara Luka dan Asa
Di Hari Pendidikan Nasional 2025 ini, kita tahu jalan masih panjang.
Ketidakmerataan masih melukai, kebijakan baru masih sering gagap, dan perubahan zaman menuntut lebih banyak adaptasi. Namun di antara segala kekurangan itu, masih ada satu hal yang tidak berubah: cinta kita pada ilmu, pada perubahan, dan pada masa depan yang lebih baik.
Mari terus mendukung pendidikan yang adil, bermartabat, dan penuh kasih untuk semua anak Indonesia.
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025.
Penulis: Brahmastya Artanto
Informasi selengkapnya tentang pembelajaran homeschooling dapat menghubungi Hotline HSPG 081215168833.
Comments